Minggu, 09 Juli 2017

Pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila

BAB I
PENDAHULUAN
     

                      A.     Latar Belakang


Asas tunggal, Tunggal jelas berarti satu. Asas tunggal berarti tidak boleh ada asas lain. Jika Pancasila menjadi asas tunggal, itu berarti tak boleh ada asas lain kecuali Pancasila yang dijadikan tumpuan berpikir atau berpendapat di negeri ini. Kalaupun ada yang lain, tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Artinya, Pancasila berada di atas segalanya. Yang lain ada di bawahnya, termasuk Islam. Pada awal kekuasaannya, Soeharto berusaha meyakinkan bahwa rezim baru ini adalah pewaris sah dari presiden pertama. Dari khasanah ideologis Soekarno, pemerintah baru ini mengambil Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara dan karena itu merupakan resep yang paling tepat untuk melegitimasi kekuasaannya. Kekuasaan awal Orde Baru sanggup memberikan doktrin baru kepada masyarakat bahwa setiap bentuk kudeta atas pemerintahan yang sah dengan mencoba mengganti ideologi Pancasila adalah salah dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tampaknya ‘propaganda’ itu berhasil, sehingga tampak jelas ketika rentang Oktober 1965 sampai awal 1966, terjadi peristiwa kekerasan massal yang luar biasa dasyatnya, yaitu ‘pembantaian’ orang-orang yang dicurigai berafiliasi terhadap komunis. Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia tidak asing dengar istilah masa Orde Lama, Orde Baru dan orde reformasi. Orde Lama identik dengan kepemimpinan Soekarno, Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Sedangkan, masa reformasi yaitu masa sekarang ini masa globalisasi dengan segala unsur kebudayaan yang bebas keluar masuk suatu negara. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama. Masa Orde Baru merupakan masa dimana adanya pergantian kekuasaan Soekarno digantikan dengan Soeharto yang menjalankan suatu visi yaitu melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen. Dalam masa Orde Baru inilah diterapkan beberapa kebijakan pemerintah untu melaksanakan Pancasila yang murni dan konsekuen tersebut. Beberapa istilah muncul dalam berbagai kebijakan yang dilaksanakan, seperti Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Ekaprasetia Pancakarsa, dan Asas Tunggal Pancasila. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Orde Baru menjadi identik dengan Pancasila, sesuai dengan semangat dari awal masuknya Orde Baru. Dimana awal kekuasaan Orde Baru telah berhasil meyakinkan masyarakat tentang konsistensinya dalam mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara. Bahkan sanggup pula menggunakan Pancasila sebagai alat untuk memberikan legitimasi atas kekuasaan, untuk semakin kokoh, tanpa terusik oleh kekuatan-kekuatan lain yang merongrongnya. Salah satu upaya yang dimaksud ialah dengan munculnya istilah Tunggal Pancasila yang sudah disebutkan di atas. Asas ini mengartikan bahwa tidak ada dasar lain selain Pancasila dalam parpol maupun organisasi masyarakat (orma).
     B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kedudukan pancasila pada masa orde, hingga pada asas tunggal pancasila?
2.      Bagaimana pelaksanaan asas tunggal pancasila berkaitan dengan pengaruh kekuasaan system orde baru?
     C.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, makalah ini bertujuan menjelaskan tentang:
1.      kedudukan pancasila pada masa orde baru
2.      Pelaksanaan asas tunggal pancasila berkaitan dengan pengaruh kekuasaan rezim orde baru   
    
D.     Metode Penelitian
      Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif agar mendapatkan gambaran yang utuh, menyeluruh, dan mendalam. Mengenai pengumpulan sumber, penulis menggunakan sumber sekunder dengan melakukan studi literatur dari buku-buku, jurnal, artikel, skripsi, tesis, dan diskusi dengan beberapa aktivis gerakan ini. Buku-buku, skripsi, dan tesis, penulis dapatkan dari Perpustakaan Daerah Banten dan sebagian buku merupakan koleksi pribadi. Sedangkan jurnal dan artikel, penulis dapatkan dari media internet lainnya.


BAB II
PEMBAHASAN
    A.      Kedudukan Pancasila Masa Orde Baru
Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai luhur yang telah hidup jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka. Dirumuskan oleh para pendiri bangsa dengan semangat mempersiapkan dasar dari sebuah negara merdeka, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkanlah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, maka Pancasil dimana terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar secara resmi menjadi Dasar negara Republik Indonesia. Dengan Pancasila dijadikan Dasar Negara, maka mengandung konsekuensi logis bahwa Pancasila dengan sifat dan hakikat nilainya harus menjadi dasar dari tata penyelenggaraan Negara Indonesia. Dari awal kemerdekaan, kedudukan Pancasila terus mengalami dinamika. Pada tahun  1949 dengan ditetapkanya UUD RIS, tahun 1950 dengan UUD Sementara, tahun 1959 dengan kembali pada UUD 1945 dengan konsepsi Demokrasi hingga padan tahun 1966 dengan semangat pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen oleh rezim yang menyebut dirinya “Orde Baru”. Dinamika dari awal kemerdekaan hingga pada tahun 1966an dianggap Pancasila tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen, terutama di tahun 1959 dengan Demokrasi Terpimpinnya. Terlebih pada periode 1959 – 1965 terdapat upaya menggabungkan Pancasila dengan Ideologi yang secara jelas berlawanan dengannya hingga berujung pada pembrontakan G30S/PKI. Berpijak dari pandangan ketidakmurnian dan ketidak konsekuenan pelaksanaan Pancasila sebelum tahun 1966, rezim Orde Baru pimpinan Jendral Soeharto yang menggantikan rezim Orde Lama pimpinan Ir. Soekarno berjalan dengan semangat pelaksanaan Pancasila yang murni dan konsekuen. Dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang banyak dikeluarkan oleh rezim Orde Baru berkaitan dengan pelaksanaan Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara, sebaga ideologi, sebagai pandangan hidup, sebagai pedoman di masyarakat benar-benar diupayakan sekuat tenaga oleh rezim Orde Baru. Ekaprasetia Panca Karsa (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4) dan Asas Tunggal Pancasila merupakan contoh dari kebijakan Orde Baru berkaitan dengan pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Kebijakan Ekaprasetia Panca Karsa terdapat dalam Tap MPR No.II/MPR/1978, dimana dijelaskan pada pasal satu “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan  Pancasila ini tidak merupakan tafsir Pancasila sebagai Dasar Negara, dan juga tidak dimaksud menafsirkan Pancasila Dasar Negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Batang Tubuh dan Penjelasannya”. Kemudian pada pasal dua “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warganegara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”. Hal ini menjelaskan bahwa rezim Orde Baru berusaha memberikan pedoman bagi masyarakat untuk melaksanakan Pancasila. Akan tetapi, perlu dicermati keadaanya berbeda pada selanjutnya. Sebagai sebuah dasar negara dengan konsekuensi logisnya, rezim Orde Baru mempertegas kedudukan Pancasila, berkaitan dengan  pertai politik dan organisasi masyarakat. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 8/1985 dan Undang-Undang No 3/1985, dimana menyatakan bahwa Partai Politik dan Golongan Karya serta Organisasi Masyarakat harus berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Asas yang dimaksud disini adalah asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbagsa dan bernegara. Dengan kenyataan-kenyataan di atas membuktikan bahwa rezim Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai dasar, asas, dan ideologi yang wajib dilaksanakan secara murni dan konsekuen oleh bangsa Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi logis bangsa Indonesia setelah menetapkan Pancasila melalui penetapan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara. Semangat pelakasanaan Pancasila secara murni dan konsekuen yang dikibarkan oleh rezim Orde Baru ternyata dalam perjalanannya memunculkan sebuah istilah “hegemoni”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hegemoni berarti pengaruh kepemimpinan, dominasi, atau kekuasaan dan sejenisnya. Kaitannya dengan Pancasila, dalam perjalanan rezim Orde Baru, pemimpin memberikan pengaruh atau dominasi dengan alat ideologi Pancasila guna mempertahankan kekuasaanya.
Asas Tunggal Pancasila dan “Hegemoni” Orde Baru
Tentunya munculnya istilah atau kebijakan Asas Tunggal Pancasila disebabkan situasi politik yang berkembang pada masa Orde Baru. Pada awal masa Orde Baru, yakni orde yang dipimpin oleh Soeharto, meyakinkan bahwa Orde Baru yang dipimpinnya adalah pewaris sah dan konstitusional dari presiden pertama. Dari khasanah ideologis Sukarno, pemerintah baru ini mengambil Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara dan karena itu merupakan resep yang paling tepat untuk melegitimasi kekuasaannya. Penamaan Orde Baru dimaklumkan sebagai keinginan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat atas munculnya keadaan baru yang lebih baik daripada keadaan lama. Reorientasi ekonomi, politik dan hubungan internasional ditambah stabilitas nasional adalah langkah awal yang ditegakkan oleh Orde Baru.
Kekuasaan awal Orde Baru sanggup memberikan doktrin baru kepada masyarakat bahwa setiap bentuk kudeta atas pemerintahan yang sah dengan mencoba mengganti ideologi Pancasila adalah salah dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tampaknya ‘propaganda’ itu berhasil, sehingga tampak jelas ketika rentang Oktober 1965 sampai awal 1966, terjadi peristiwa kekerasan massal yang luar biasa dasyatnya, yaitu ‘pembantaian’ orang-orang yang dicurigai berafiliasi terhadap komunis. Instabilitas nasional di bawah Demokrasi Terpimpin serta percobaan kudeta tersebut meyakinkan banyak pihak, bukan saja pihak militer, akan pentingnya men’depolitisasi’ masyarakat. Koalisi Orde Baru, yang terdiri dari militer (sebagai kekuatan dominan), kelompok pemuda-pelajar, Muslim, intelektual, demokrat, dsb, berhasil memberi dukungan yang diperlukan untuk menggulingkan Sukarno dalam bulan Maret 1966. Mulai saat itulah, Orde Baru menancapkan pengaruhnya dengan menfokuskan pada Pancasila dan meletakkannya sebagai pilar ideologi rezim. Pancasila kemudian menjadi suatu pembenaran ideologis untuk kelompok yang berkuasa, tidak lagi hanya merupakan suatu platform bersama di mana semua ideologi bisa dipertemukan. Pancasila menjadi semakin diresmikan sebagai ideologi negara, di luar realitas Pancasila tidak sah digunakan sebagai ideologi negara. Tampaknya keinginan awal itu berhasil menguatkan kekuasaan Orde Baru dan memberikan jaminan stabilitas nasional yang mantap daripada Orde Lama.
Bagi Orde Baru, berbagai bentuk perdebatan mengenai ideologi negara, utamanya antara kelompok Islam versus nasionalis, ternyata tidak semakin membuat stabilitas nasional berjalan dengan baik, tetapi justru struktur politik labil yang lebih mengedepan. Belajar dari tragedi sejarah Orde Lama yang ‘agak’ serba permisif dalam memberikan ‘ruang’ bagi tumbuhnya ideologi lain, justru berkakbat fatal bagi berlangsungnya stabilitas kekuasaan tersebut. Itulah sebabnya, Suharto beserta tokoh penting Orde Baru seperti Adam Malik, menggambarkan betapa pentingnya Pancasila bagi Orde Baru. Pancasila kemudian menjadi kekuatan paling efektif untuk meminimalisasi kemungkinan munculnya kekuatan di luar negara. Tampaknya di awal kekuasaannya, Orde Baru berhasil menyelesaikan masalah legitimasi ideologisnya. Akhirnya tahun 1966 dan 1967, dasar-dasar negara suatu pemerintah yang dilegitimasi oleh ideologi Pancasila mulai diletakkan. Menjelang pertengahan 1966, MPRS  telah berhasil membersihkan dirinya dari semua pendukung Sukarno. Sehingga, lembaga ini semakin memperoleh legalisasi untuk mengesahkan pengambilalihan kekuasaan oleh Letjend Soeharto, tanggal 5 Juli 1966 serta berhasil menjelaskan ‘penyelewengan-penyelewengan’ dalam pelaksanaan Pancasila dan Konstitusi yang telah terjadi selama Orde Lama di bawah Sukarno. Ditetapkannya Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa Orde Baru yang dipimpin oleh Letjen Soeharto didasarkan pada UUD dan Pancasila dan akan melaksanakan tujuan-tujuan Revolusi. Ketetapan ini dengan tegas mengakui keabsahan, legalitas,dan semangat revolusioner UUD dan Pancasila. Dan yang lebih penting lagi adalah MPRS mengatakan bahwa sumber tertinggi hukum nasional adalah ‘semangat’ Pancasila yang diakui MPRS merupakan cerminan dari karakter nasional serta Pembukaan UUD yang di dalamnya asas-asas Pancasila ditegaskan, itu lebih tinggi daripada Batang Tubuh UUD 1945. Pada kekuasaan Orde Baru inilah Pancasila benar-benar menjadi kekuatan ideologis paling efektif dalam usahanya menancapkan ‘kuku’ kekuasaannya. Orde Baru menjadi kekuatan yang membela secara jelas Pancasila sebagai ideologi, sehingga setiap ancaman besar terhadap bangsa (kekuasaan), merupakan ancaman erhadap Pancasila, dan buktinya semua bentuk pemberontakan dapat dihancurkan. Adam Malik menunjuk pada Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 sebagai bukti bahwa Pancasila memang merupakan suatu sumber hukum legal dan ‘moral’, otoritas, dan legitimasi yang tertinggi di Indonesia. Pancasila dengan demikian tidak bisa dilaksanakan bila terdapat unsur-unsur dalam bangsa yang tidak sesuai dengan ‘kepribadian nasional, misalnya ‘ideologi asing’ yang menganjurkan diadakannya partai-partai politik oposisi, seperti di Barat. Realitas ini menjadi suatu bukti betapa dalam perkembangan politik nasional era Orde Baru sangat sulit diperoleh kekuatan di luar negara yang berani kritis atas negara. Disamping hanya akan diberangus sampai ke akar-akarnya, gerakan oposisi justru hanya akan menambah kekacauan dalam masyarakat. Dalam keadaan tertentu, realitas munculnya oposisi tidak sesuai dengan Pancasila. Itulah bukti betapa Orde Baru seolah tidak bisa dilepaskan dari Pancasila, karena bagaimanapun Pancasila adalah titik tolak dari rezim ini. Demikianlah awal dimana kekuasaan Orde Baru telah berhasil meyakinkan masyarakat tentang konsistensinya dalam mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara. Bahkan sanggup pula menggunakan Pancasila sebagai alat untuk memberikan legitimasi atas kekuasaan, untuk semakin kokoh, tanpa terusik oleh kekuatan-kekuatan lain yang merongrongnya. Orde Baru menjadi identik dengan Pancasila, sehingga setiap usaha mengkritisinya ‘dicurigai’ sebagai usaha untuk mengubah ideologi negara, dan itu harus ditumpas habis, tidak saja oleh aparatur negara represif meminjam istilah Althuser seperti presiden, menteri, ABRI dan lembaga kehakiman, tetapi juga oleh aparatur negara ideologis, seperti lembaga keagamaan, pendidikan, media massa, dan sebagainya. Penggabungan partai-partai yang ‘dipaksakan’ pada tahun 1973 merupakan contoh jelas dari ketergantungan pemerintah kepada ideologi nasional untuk menciptakan demokrasi Pancasila dan melegitimasi tindakan-tindakannya, tetapi baru pada tahun 1978 pemerintah Orde Baru melakukan ofensif ideologi yang dimaksudkan untuk menetapkan lebih lanjut parameter-parameter dan kendali-kendali atas wacana politik di Indonesia. Puncaknya pada tanggal 22 Maret 1978, MPR mengesahkan sebuah ketetapan tentang ‘Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) yaitu TAP MPR No.II/MPR/1978. Ketetapan ini menjadi sangat penting karena dikaitkan dengan pedoman MPR untuk rencana pembangunan lima tahun. Dengan P4 ini dimulailah program indoktrinasi Pancasila secara nasional melalui program-program pendidikan ideologi yang dilaksanakan secara ketat.
Selama pembahasan-pembahasan di MPR tahun 1978 mengenai rancangan ketetatapan P4, farksi NU (Nahdatu Ulama) dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) melakukan protes dengan walk out dari Majelis. Menurut Sidney Jones, pada saat itu NU adalah organisasi massa (Islam) terakhir di negara Indonesia yang masih memiliki aspirasi-aspirasi politik dan karena ini ‘dicurigai’ oleh rezim karena pada tahun 1971 menolak untuk mematuhi pedoman-pedoman Orde Baru tentang perilaku politik dan kemudian tahun 1981, NU menolak mendukung Soeharto untuk masa jabatan ketiga atau memberinya gelar ‘Bapak Pembangunan’ Dengan perkataan lain, NU masih bertindak seakan-akan sebuah partai yang independen. Perilaku seperti ini membuat NU menjadi sasaran tuduhan ‘anti-Pancasila’ oleh rezim, sebagaimana dalam sebuah pidato Presiden Soeharto tahun 1980 ketika dia menyerang walk out-nya NU dengan tuduhan seperti itu.
B.      Pelaksanaan Asas Tunggal Pancasila
Situasi kondisi yang digambarkan di atas, menjadikan Presiden Orde Baru mulai secara tegas dan keras terhadap setiap ‘kekuatan’ yang tidak mau menerima Pancasila sebagai ideologi. Dan mencanangkan tentang asas tunggal Pancasila yang artinya tidak ada dasar lain selain Pancasila dalam parpol maupun organisasi masyarakat (orma). Hal ini  tercantum pada UU No. 3 tahun 1985 tentang ditetapkannya Pancasila sebagai asas Partai Politik. Tidak lama setelah dikeluarkannya UU No. 3 tahun 1985, Orde Baru kembali mengeluarkan kebijakan mengenai Pancasila sebagai asas tunggal untuk organisasi-organisasi kemasyarakatan melalui UU No. 8 tahun 1985. Organisasi masyarakat diberi waktu dua tahun untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Tanggal 27 Maret dan 16 April 1980, Presiden Suharto mengeluarkan peringatan tersebut melalui pidatonya pada Rapim ABRI di Pekanbaru. Dia mengatakan bahwa sebelum Orde Baru, Pancasila telah diancam oleh ideologi-ideologi lain, seperti Marxisme, Leninisme, komunisme, sosialisme, nasionalisme dan agama. Setiap organisasi di negara ini harus menerima Pancasila sebagai ideologi, sehingga merupakan keharusan bahwa angkatan bersenjata mendukung kelompok-kelompok yang membela dan mengikuti Pancasila. Soeharto, bahkan mengisyaratkan agar ABRI harus mendukung  Golongan Karya (Golkar), sebagai konsekuensi dukungan atas pemerintahan yang membela Pancasila. ABRI dengan demikian harus berdiri di atas politik. Menurut David Jenkis, Soeharto dan kroninya di ABRI merasa bahwa jika militer ‘netral’ dalam pemilu, maka partai Islam (PPP) akan mengalahkan Golkar. Dari pidato-pidato Soeharto, Islam jelas digambarkan sebagai ancaman terhadap Pancasila, karena itu netralitas ABRI sama saja dengan membahayakan Pancasila.
Dalam pidato tahunannya di depan DPR, 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto menegaskan lagi bahwa “seluruh kekuatan sosial dan politik harus menyatakan bahwa dasar ideologi mereka satu-satunya adalah Pancasila.” Pernyataan ini makin menegaskan adanya proses hegemoni ideologi, sesuatu yang belum pernah ada dalam sejarah Indonesia sebelumnya, dimana negara mampu menggunakan hegemoni ideologi seefektif yang dilakukan Orde Baru. Dengan demikian, perjalanan panjang Orde Baru pada dasarnya didasarkan pada keinginan untuk ‘menguatkan’ dan ‘menancapkan’ ideologi Pancasila sebagai satu-satunya ideologi sah negara. Dengan ‘berlindung’ dibalik ideologi Pancasila, Orde Baru yang didukung kino-kinonya (ABRI, Golkar dan Birokrasi) menjadi kekuatan ‘luar’ biasa di negara Indonesia, tanpa dapat disentuh oleh kekuatan manapun. Sebab, setiap kekuatan di luar mainstream ‘negara’ saat itu akan dianggap sebagai merongrong ideologi Pancasila. Setelah ideologi komunisme mampu ditumpas, maka Soeharto masih menganggap ada kekuatan lain yang ‘berbahaya’, yaitu yang datang dari kekuatan Islam. Ditetapkannya Pancasila sebagai asas tunggal pada perkembangan selanjutnya adalah semakin memperjelas arah kepentingan politik negara dengan menggunakan ideologi Pancasila. Semua organisasi, apapun bentuk dan jenisnya, harus mencantumkan Pancasila sebagai asas dalam anggaran dasarnya.
Pancasila Pada Masa Orde Baru (1965-1998)
         Terlaksananya dengan dasar “supersemar” dan TAP MPRS no. XXXVII/MPRS/1968 periode ini disebut juga demokrasi pancasila, karena segala bentuk penyelanggaraan negara berlangsung berdasarkan nilai-nilai pancasila
Ciri-ciri umum :
1.      Mengutamakan musyawarah mufakat
2.      Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat
3.      Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain
4.      Selalu diliputi oleh semangat kekeluargaan
5.      Adanya rasa tanggung jawab dalam melaksankan hasil keputusan musyawarah
6.      Dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur
7.      Keputusan dapat dipertanggungjawabkan kepada tuhan Yang Maha Esa berdasarkan nilai kebenaran dan keadilan
Orde baru muncul dengan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Semangat tersebut muncul berdasarkan pengalaman sejarah dari pemerintahan sebelumnya yang telah menyimpang dari Pancasila serta UUD 1945 demi kepentingan kekuasaan. Akan tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada masa orde lama, yaitu Pancasila tetap pada posisinya sebagai alat pembenar rezim otoritarian baru di bawah Soeharto. Seperti rezim otoriter pada umumnya lainnya, ideologi sangat diperlukan orde baru sebagai alat untuk membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Sehingga Pancasila oleh rezim orde baru kemudian ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Maka dari itu Pancasila perlu disosialisasikan sebagai doktrin komprehensif dalam diri masyarakat Indonesia guna memberikan legitimasi atas segala tindakan pemerintah yang berkuasa. dalam diri masyarakat Indonesia. Adapun dalam pelaksanaannya upaya indroktinisasi tersebut dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari pengkultusan Pancasila sampai dengan Penataran P4. Upaya pengkultusan terhadap pancasila dilakukan pemerintah orde baru guna memperoleh kontrol sepenuhnya atas Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah orde baru menempatkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai sesuatu yang keramat sehingga tidak boleh diganggu gugat. Penafsiran dan  implementasi Pancasila sebagai ideologi terbuka, serta UUD 1945 sebagai landasan konstitusi berada di tangan negara. Pengkultusan Pancasila juga tercermin dari penetapan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober sebagai peringatan atas kegagalan G 30 S/PKI dalam upayanya menggantikan Pancasila dengan ideologi komunis. Retorika mengenai persatuan kesatuan menyebabkan pemikiran bangsa Indonesia yang sangat plural kemudian diseragamkan. Uniformitas menjadi hasil konkrit dari kebijakan politik pembangunan yang unilateral. Gagasan mengenai pluralisme tidak mendapatkan tempat untuk didiskusikan secara intensif. Sebagai pucaknya, pada tahun 1985 seluruh organisasi sosial politik digiring oleh hukum untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya dasar filosofis, sebagai asas tunggal dan setiap warga negara yang mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal akan dicap sebagai penghianat atau penghasut. Dengan demikian, jelaslah bahwa Orde Baru tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi juga memonopoli kebenaran. Sikap politik  masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat dengan negara dalam prakteknya diperlakukan sebagai pelaku tindak kriminal atau subversif.
Sosialisasi Pancasila melalui Penataran P4
Pada era Orde Baru, selain dengan melakukan pengkultusan terhadap Pancasila, pemerintah secara formal juga mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui TAP MPR NO II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di sekolah dan di masyarakat. Siswa, mahasiswa, organisasi sosial, dan lembaga-lembaga negara diwajibkan untuk melaksanakan penataran P4. Tujuan dari penataran P4 antara lain adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Selain sosialisasi nilai Pancasila dan menerapkan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, dalam kegiatan penataran juga disampaikan pemahaman terhadap Undang- Undang Dasar 1945 dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pelaksanaan penataran P4 sendiri menjadi tanggung jawab dari Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Akan tetapi cara melakukan pendidikan semacam itu, terutama bagi generasi muda, berakibat fatal. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam penataran P4, ternyata justru mematikan hati nurani  generasi muda terhadap makna dari nilai luhur Pancasila tersebut. Hal itu terutama disebabkan oleh karena pendidikan yang doktriner tidak disertai dengan keteladanan yang benar. Setiap hari para pemimpin berpidato dengan selalu mengucapkan kata-kata Pancasila dan UUD1945, tetapi dalam kenyataannya masyarakat tahu bahwa kelakuan mereka jauh dari apa yang mereka katakan. Perilaku itu justru semakin membuat persepsi yang buruk bagi para pemimpin serta meredupnya Pancasila sebagai landasan hidup bernegara, karena masyarakat menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk orang lain (rakyat) tetapi bukan atau tidak berlaku bagi para pemimpin. Atau dengan kata lain Pancasila hanya digunakan sebagai slogan yang menunjukkan kesetiaan semu terhadap pemerintah yang sedang berkuasa




BAB III
PENUTUPAN
A.     Kesimpulan
a        Kedudukan Pancasila Pada Masa Orde Baru Hingga Asas Tunggal Pancasila
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Orde Baru menjadi identik dengan Pancasila, sesuai dengan semangat dari awal masuknya Orde Baru. Dimana awal kekuasaan Orde Baru telah berhasil meyakinkan masyarakat tentang konsistensinya dalam mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara. Bahkan sanggup pula menggunakan Pancasila sebagai alat untuk memberikan legitimasi atas kekuasaan, untuk semakin kokoh, tanpa terusik oleh kekuatan-kekuatan lain yang merongrongnya. Salah satu upaya yang dimaksud ialah dengan munculnya istilah Tunggal Pancasila yang sudah disebutkan di atas. Asas ini mengartikan bahwa tidak ada dasar lain selain Pancasila dalam parpol maupun organisasi masyarakat (norma).Pada kekuasaan Orde Baru inilah Pancasila benar-benar menjadi kekuatan ideologis paling efektif dalam usahanya menancapkan ‘kuku’ kekuasaannya. Orde Baru menjadi kekuatan yang membela secara jelas Pancasila sebagai ideologi, sehingga setiap ancaman besar terhadap bangsa (kekuasaan), merupakan ancaman terhadap Pancasila, dan buktinya semua bentuk pemberontakan dapat dihancurkan.


b       Pelaksanaan  Asas  Tunggal Pancasila
Plaksanaan Pancasila sebagai asas tunggal itu agar tidak ada dasar dan ideology lain selain pancasila dalam partai politik maupun dalam organisasi masyarakat. Hal itu ditunjukan dengan adanya UU No. 3 Tahun 1985 tentang di tetapkannya pancasila sebagai asas partai politik dan UU No. 8 Tahun 1985 tentang pencasila sebagai asas tunggal bagi organisasi masyarakat. Dikeluarkannya UU diatas dan diberlakukannya pancasila sebagai asas tunggal dikarenakan adanya ancaman terhadap pancasila oleh ideologi lain seperti Marxisme, Sosialisme, Leninisme, Komunismen, Nasionalismen, dan Agama. Sehingga setiap organisasi di Negara ini harus menerma pancasila sebagai ideologi
Dengan berlindung dibalik ideologi  pancasila, orde baru yang didukung kino-kinonya yaitu ABRI, GOLKAR, dan BIROKRASI menjadi kekuatan yang luar biasa di negara Indonesia, tanpa disentuh kekuatan manapun. Orde baru muncu dengan tekad untuk melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Maka dari itu pancasila perlu disosialisasikan sebagai doktrin komprensif dalam diri masyarakat Indonesia guna memeberikan legitimasi atas segala tindakan pemerintah yang berkuasa dalam diri masyarakat Indonesia. Adapun dalam upaya indoktrinisasi tersebut dilakukan melalui berbagai cara mulai dari pengkultusan pancasila sampai dengan penataraan P4.



DAFTAR PUSTAKA
A. M. W. Pranarka. 1985. Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. Jakarta: Centre For Strategic and Internasional Study.
Bahtiar Effendy. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Faisal Ismail. 1999. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Inu Kencana Syafie. 2008. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Refika Aditama
Mashad, Dhurorudin. (2008). Akar Konflik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Prof. Dr. Hamid Darmadi, M. Pd. 2013. Urgensi Pendidikan  Pancasila dan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Bandung: ALFABETA, cv
Rahmat, M. Imdadun. (2008). Ideologi Politik PKS (edisi ke-3). Yogyakarta: LKiS.
JURNAL
Van Bruinessen, Martin. Sectarian Movements in Indonesian Islam: Social and Cultural Background. Ulumul Qur’an vo.III no. 1, (1992): 16-27.

Sabtu, 08 Juli 2017

Pemilihan Gubernur Melalui Sistem Perwakilan

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Sebuah Negara berbentuk republik memiliki sistem pemerintahan yang tidak pernah lepas dari pengawasan rakyatnya. Adalah demokrasi, sebuah bentuk pemerintahan yang terbentuk karena kemauan rakyat dan betujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat itu sendiri.
Demokrasi merupakan sebuah proses, artinya sebuah republik tidak akan berhenti di satu bentuk pemerintahan selama rakyat Negara tersebut memiliki kemauan yang terus berubah. Ada kalanya rakyat menginginkan pengawasan yang superketat terhadap pemerintah, tetapi ada pula saatnya rakyat bosan dengan para wakilnya yang terus bertingkah karena kekuasaan yang seakan–akan tak ada batasnya.
Pilkada merupakan pesta demokrasi rakyat dalam memilih kepala daerah beserta wakilnya yang berasal dari usulan partai politik tertentu, gabungan partai politik atau secara independen dan yang telah memenuhi persyaratan (Sumarno, 2005:131).
Pasca reformasi, demokrasi Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Peningkatan partisipasi publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara disalurkan melalui peraturan mekanisme yang semakin mencerminkan prinsip keterbukaan dan persamaan bagi setiap warga Negara. Salah satu bentuknya adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Dalam pemilihan kepala daerah seperti Gubernur, Bupati, dan Walikota sejak Indonesia merdeka sebelum tahun 2005 hanya dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat. Sejak berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipimpin secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada.
Pemilu Tak Langsung merupakan seluruh rakyat memilih perwakilan mereka melalui pemilihan umum (pemilu) untuk menyampaikan pendapat dan sebagai pengambil keputusan bagi mereka. Demokrasi tak langsung intinya semua rakyatnya memiliki hak dan daulat, namun kedaulatannya tersebut diwakilkan melalui perwakilan sehingga disebut dengan demokrasi tak langsung (perwakilan).
Demokrasi tak langsung juga berarti seluruh rakyat telah diwakili oleh seseorang (kalau di Indonesia DPR) untuk menyampaikan pendapat dan pengambilan keputusan kepemerintahan. 
Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Pemilihan Umum yang diadakan sebanyak dua kali yaitu pertama pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan kedua pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante.
Sejak berdirinya negara Indonesia, Bapak Hatta telah memikirkan untuk segera melakukan pemilu sesuai maklumat X tanggal 3 November 1945. maka alasan demokrasi langsung (murni) sangat sulit diterapkan di beberapa negara khususnya Indonesia, karena negara pada umumnya (seperti Indonesia) memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak, disamping itu wilayahnya juga sangatlah luas. Sehingga untuk melakukan demokrasi secara langsung sangatlah sulit dan tidak memungkinkanDemokrasi langsung lebih cocok untuk diterapkan di suatu kota (negara) kecil, yang memungkinkan untuk mereka berkumpul dalam suatu tempat dan bermusyawarah bersama dengan seluruh rakyatnya untuk menyelesaikan suatu permasalahan pemerintahan. Demokrasi langsung seperti ini berkembang di Roma dan Yunani kuno. Demokrasi langsung tidak dapat di terapkan dalam negara besar dan luas seperti Indonesia ini.
Menuju proses pengesahan, RUU pilkada telah mengudang reaksi dari masyarakat. Khususnya menyangkut ususlan opsi pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Puncaknya setelah RUU disahkan reaksi masyarakat di tunjukkan dengan menggalang dukungan untuk melakukan uji norma Undang- Undang Pilkada ke  Mahkamah Konstitusi. Reaksi masyarakat datang dari pelbagai elemen. Dari kalangan penggiat dan aktivis pro-reformasi akademisi, tokoh masyarakat, netizen, pejabat Negara, kepala daerah hingga presiden.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
1.      Bagaimana tata cara dan mekanisme pemilihan gubernur melalui pilkada tidak langsung?
2.      Adakah efek Demokrasi tidak langsung terhadap hak dan daulat rakyat untuk di wakilkan melalui perwakilan?
C.      Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, ada tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini yaitu:
1.       Untuk mengetahui tata cara dan mekanisme pemilihan gubernur melalui pilkada tidak langsung
2.      Untuk mengetahui efek Demokrasi tidak langsung terhadap hak dan daulat rakyat untuk di wakilkan melalui perwakilan
D.     Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yaitu berupa penelitian riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis serta lebih menonjolkan proses dan makna.
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur terhadap permasalahan diatas.

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Bagaimana tata cara dan mekanisme pemilihan gubernur melalui pilkada tidak langsung
Sidang paripurna DPR Ini puncak drama pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (disingkat UU Pilkada) dalam rapat paripurna DPR RI. Rapat paripurna yang dilakukan diliputi ketegangan dan kericuhan. Hal ini berkaitan dengan terbentuknya polarisasi dua kubu fraksi yang mengusung pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat dan kubu lain megusung pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Sidang paripurna tersebut selain berisi agenda pengesahan RUU Pilkada.
Sidang paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso berjalan alot diwarnai lobi-lobi yang panjang, hujan interupsi, silang sengketa hingga aksi walkout Partai Demokrat. Berujung pada kandasnya mimpi rakyat untuk memilih kepala daerahnya secara langsung.
Jalannya sidang alot dikarenakan masih ada enam materi dalam RUU Pilkada yang tidak menemukan kesepakatan dalam pembahasan tingkat pertama di Komisi II DPR. Ditambah terakhir, fraksi Partai Demokrat mengajukan opsi ketiga, yakni mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat dengan 10 syarat, diiluar dua opsi yang dibawa oleh Panitia Kerja (Panja) Komisi II.
Usulan opsi ketiga yang disampaikan oleh Agus Hermanto dari fraksi Partai Demokrat pada awal pembukaan rapat inilah yang membuat situasi bertambah ricuh. Interupsi saling sahut. Beberapa anggota DPR mendesak kepada pimpinan rapat, agar melanjutkan proses pengembalian keputusan berdasrkan dua opsi saja.
Situasi ini mempengaruhi komposisi kekuatan dua kubu yang saing bersebrangan. Kubu pendukung Pilkada langsung oleh rakyat disokong oleh fraksi PDIP, PKB dan Hanura. Sedangkan kubu pendukung Pilkada lewat DPRD adalah Golkar, Gerindra, PKS, PAN, dan PPP. Fraksi-fraksi yang mendukung Pilkada lewat DPRD akan memenangkan voting.
Latar belakang persetuan tak bisa dilepaskan dari peraturan sebelumnya dengan motif politik. Bermula Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri partai Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP dan Demokrat menuai kekalahan dalam Pemilihan Presiden 9 Juli 2014.
Rencana perubahan dan penyempurnaan atas UU Nomor 32 Tahun 2004 telah dicanangkan oleh DPR pada bulan Juli 2011. Tepatnya tanggal 20 Juli 2011, DPR memasukkan RUU Pemda, RUU Pilkada dan RUU Desa dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Perubahan sikap dan posisi terjadi saat rapat konsinyering antara komisi II DPR dan Pmerintah pada tanggal 2 September 2014 di Bogor. Fraksi yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih berubah drastis dan memutar haluan dengan mengusulkan pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Sedangkan PDIP, Hanura, dan PKB tetap konsisten atas sikap dan posisinya.
Perubahan sikap yang mendadak dari Koalisi Merah Putih tersebut ditenggarai sarat dengan tendensi politik. Bagaimana mungkin perubahan sikap dilakukan secara mendadak dan dilakukan sama oleh semua fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih, pada tanggal 2 September 2014.
Pemilihan gubernur, bupati dan wali kota dilaksanakan setiap 5 tahun sekali serentak secara nasional. Ketentuan ini sebagai jawaban atas masalah beban biaya penyelenggaraan. Biaya rata-rata pemilihan wali kota atau bupati Rp 25 miliar, dan pemilihan gubernur Rp 500 miliar. Dalam waktu lima tahun, uang negara tercurah untuk pilkada seluruh Indonesia minimal 30 triliun. Dengan adanya ketentuan pilkada serentak, diperkirakan akan dapat memotong biaya anggaran hingga 50 persen.
Sebelum menelaah implikasi penerapan UU Pilkada yang telah disahkan oleh DPR, terlebih dahulu menempatkan produk hukum itu dalam satuansistem yang tak terpisah. UU Pilkada bukanlah entitas otonom yang terpisah dari satuan sistem. Berdiri sendiri di ruang hampa, produk hukum itu memiliki keterkaitan saling tunjang antar subsistem dan dengan grand design dalam sistem yang lebih besar. Ada empat kerangka sistem yang akan dijadikan rujukan untuk telaah UU Pilkada: (1)sistem pemerintahan; (2)otonomi daerah; (3)negara hukum dan (4)kedaulatan rakyat.
Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah yang selanjutnya disebut pemilukada adalah pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan Undang- undang dasar 1945. Pemilukada meliputi:
1.      Pemilu gubernur dan wakil gubernur
2.      Pemilu bupati dan wakil bupati
3.      Pemilu walikota dan wakil walikota

a.       Pengertian pilkada tidak langsung
Waktu sekolah dasar dulu, guru pernah menjelaskan apa itu demokrasi yang berasal dari bahasa Yunani. Dasar katanya adalah Demoas bermakna rakyat dan Cratein yang berarti kedaulatan atau kekuasaan.
demokrasi/de·mo·kra·si/ /démokrasi/ n Pol 1 (bentuk atau sistem) pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat; 2 gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara; Jadi Demokrasi itu adalah kedaulatan rakyat. Presiden Amerika Serikat Abraham Linclon menyatakan bahwa Demokasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.
Maknanya rakyatlah yang menentukan. Bukan sekelompok orang yang merasa diri hebat dan serba tahu  yang disebut elit. Siapapun orang itu , pun bila ia dipilih rakyat. Rakyat berhak menentukan apa saja yang sangat menentukan bagi hidupnya salah satu yang menentukan itu adalah pemimpin atau penguasa yang bertugas untuk mengusahakan dan menjaga, serta memajukan kehidupan rakyat yang sejahtera.
Bila hak rakyat yang memegang kedaulatan rakyat untuk menentukan pemimpin diambil alih oleh orang yang dipilih rakyat, ini berarti telah  terjadi perampokan hak dan kedaulatan rakyat. Itu maknanya demokrasi telah mati.
Pilkada tidak langsung yaitu para pemilih melakukan pemilihan orang orang untuk menjadi anggota suatu lembaga  kenegaraan yang mempunyai wewenang utuk memilih orang yang akan menjadi pejabat negara tersebut.. contoh cara seperti ini pemilihan gubernur dan wakil gubernur  yang dilakukan oleh DPRD
Pemilihan kepala daerah dan wakilnya melalui DPRD oleh sebagian menilai sistem ini justru bisa lebih meminimalisir terjadinya praktik suap dan korupsi. Pemilihan kepala daerah dan wakilnya melalui DPRD pernah dilakukan ketika Undang-undang pemerintahan daerah masih menggunakan UU No.22/1999. Model pemilihan ini relatif  lebih hemat dan efisien dari sisi biaya dibandingkan dengan sistem pemilihan langsung seperti digunakan saat ini, namun kurang melibatkan partisipasi masyarakat secara luas dalam menentukan pemimpinnya sehingga menjadi kurang demokratis dibandingkan jika dipilih langsung. Selain sangat terbuka kemungkinan terjadinya praktik dagang sapi (money politic) oleh DPRD.
b.      Tata cara dan mekanisme pilkada tidak langsung
   Mekanisme Pilkada tidak langsung ini melalui DPRD tidak di pilih langsung oleh rakyat. Pemilihan diselenggarakan melalui dua tahapan,yaitu:
1.      Tahap persiapan
Tahap persiapan meliputi:
·         Penyusunan program,kegitan,dan jadwal pemilihan
·         Pengumuman pendaftaran calon Gubernur atau Wakil gubernur
·         pendaftaran calon Gubernur atau Wakil gubernur
·         penelitian persyaratan Administratif bakal calon Gubernur atau Wakil gubernur

2.      Tahap pelaksanaan
·         Penyampaian Visi dan Misi
·         Pemungutan dan penghitungan suara
·         Penetapan hasil ;dan
·         Penyelesaian pelanggaran hukum
B.      Adakah efek Demokrasi tidak langsung terhadap hak dan daulat rakyat untuk di wakilkan melalui perwakilan
Kekuatan rakyat yang berdaulat secara tegas telah diamanatkan dalam Pasal 1 Ayat 2 UUD NRI 1945, “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.” Karena itu, pemilu apapun macam dan namanya harus berlandaskan pada daulat rakyat sebagai hak fundamental yang diakui oleh konstitusi.
Penting untuk diketahui, bahwa kedaulatan tersebut mesti dilaksanakan menurut UUD (bukan menurut UU), sehingga baik Pileg, Pilpres, maupun Pilkada harus berlandaskan pada daulat rakyat yang terdapat dalam UUD. Jadi niat untuk kembali ke sistem Pemilihan Kepala Daerah langsung melalui DPRD tidak dapat dilepaskan dari makna daulat rakyat yang terdapat dalam Pasal 1 Ayat 2 UUD NKRI 1945.
Sekalipun terdapat sanggahan bahwa instruksi yang diberikan oleh konstitusi dalam Pasal 18 Ayat 4 UUD NRI 1945 “Gubernur, Bupati, Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah dipilih secara demokratis.” Yang menyebabkan sistem Pemilukada menjadi “open legal policy” dapat ditafsir ke demokrasi perwakilan. Namun dalam kaca mata hukum maupun dalam kacamata sosiologis nalar demikian tetap akan terbantahkan.
DPRD menganggap dirinya dapat mewakili kepentingan “daulat rakyat” sampai saat ini tidak ada jaminan, mereka akan bekerja benar-benar karena amanat daulat rakyat. Justru kembali ke Pilkada tak langsung, dua organ kekuasaan ini (Kepala Daerah dan DPRD) akan semakin terbuka peluang melakukan transaksi politik.
Pemilukada tak langsung dapat membuat kepala Daerah tidak perlu lagi bekerja keras menjalankan kepentingan “daulat rakyat”. Cukup menjalin konspirasi bersama anggota dewan, semua kebijakan kerjanya akan berjalan lancar. Dalam situasi yang seperti ini, posisi rakyat dengan pemimpin, jelas semakin menjauh, karena bukan lagi dalam kawalan rakyat untuk menagih semua janji-janji politiknya. Janji-janji politiknyapun boleh jadi rakyat tidak tahu menahu, semuanya tinggal diserahkan kepada wakil rakyat yang bernama DPRD.
Berikut ini keuntungan dan kekurangan pemilukada tidak langsung melalui DPRD:
1.      Keuntungan diadakan pilkada tidak langsung
·         Meningkatkan kemungkinan terpilihnya kepala daerah yang memiliki kompetensi dan rekam jajak yang baik (tidak sekedar memiliki popularitas akibat pencitraan semu)
·         Meningkatkan kemungkianan terpilihnya kepala daerah yang memiliki program serta rencana pembangunan yang jelas untuk daerahnya (karena setiap calon kepala daerah melakukan presentasi visi,misi dan program di DPRD,dan menerima pertanyaan dari anggota DPRD dalam sidang terbuka
·         Meningkatkan kemungkinan terpilihnya kepala daerah yang berkompeten yang tidak memiliki modal besar
·         Mengurangi resiko terpilihnya kepala daerah hasil manipulasi hasil pemungutan suara
·         Mengurangi jumlah kasus korupsi Anggaran daerah oleh kepala daerah
·         Menghapus kemungkinan terjadinya politik uang
·         Menghemat uang rakyat yang sebelumnya digunakan untuk penyelenggaraan Pemilukada sebesar Rp.20 s/d Rp.30 miliyar untuk pemilukada tingkat Kabupaten/Kota dan Rp.100 miliyar untuk Pemilukada tingkat provinsi (uang ini dapat dialihkan untuk pembanguna infrastruktur)
·         Meningkatkan peran anggota DPRD dalam mewakili aspirasi rakyat (sehingga semakin banyak anggota masyarakat yang mengetahui,mengenal,dan menjalin komunikasi dengan anggota DPRD mereka
2.      Kekurangan pilkada tidak langsung melalui DPRD
·         Tidak mampu mempresentasikan aspirasi rakyat mayoritas atau keterwakilan rakyat
·         Legitimasi kepala daerah lemah dikarenakan kualitas demokrasi yang rendah dan tidak melibatkan rakyat yang ada
·         Sulit menghasilkan pemimpin terbaik dari tokoh tokoh yanga ada di daerah tersebut. pilihan DPRD cenderung hanya pada tokoh tokoh yang dikenal oleh DPRD saja
·         Memperbesar peluang terjadinya politik transaksional antara calon kepala daerah dengan legilatif pada saat proses pilkada berlangsung
·         Membuat legislatif menjadi superior terhadap eksekutiif. Legislatif  bukannya mengawasi eksekutif bahkan mengendalikan eksekutif. Ini membuat eksekutif lebih mementingkan kepentingan legislatif dari pada kepentingan rakyat
Efek demokrasi tidak langsung terhadap hak dan daulat rakyat untuk diwakilkan melalui keterwakilan ini telah beralih menjadi kedaulatan partai politik dimana penentuan pemimpin daerah ‘bisa diatur’ oleh tokoh-tokoh sentral partai politik. Dan tak dapat dipungkiri pula, peluang transaksional kembali bersemi dalam tatanan pemilihan kepala daerah di tingkat DPRD. Pemimpin lahir dari partai politik, bukan dari rakyat.
Berharap adanya reformasi partai politik saat ini tentu saja sesuatu yang mustahil. Kekuasaan telah merubah pola pikir substansi kehadiran partai politik yang antara lain sebagai pendidikan politik, dan rekruitmen dan kaderisasi pemimpin publik. Dapat dilihat saat ini, partai politik hanya menjadi sarana dalam melanggengkan kekuasaan untuk mencapai pundi-pundi keuangan. Partai politik menjadi jembatan terjadinya ‘perselingkuhan’ antara penguasa dan pengusaha.
Kekuasaan partai politik kian menemukan jalannya. Realitas inilah yang kemudian menjauhkan rakyat dengan pemerintah yang sejatinya sebagai tumpuan untuk saling berinteraksi mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Bukannya memberikan pelayanan optimal, pemimpin pilihan DPRD tentu akan mengutamakan kepentingan wakil rakyat daripada rakyat.

                                                                                    







BAB III
PENUTUP
A.     Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1.      Tata cara dan mekanisme pemilihan gubernur melalui pilkada tidak langsung ini melalui DPRD tidak di pilih langsung oleh rakyat. Pemilihan diselenggarakan melalui dua tahapan,yaitu:
a.       Tahap persiapan yang meliputi:
·         Penyusunan program,kegitan,dan jadwal pemilihan
·         Pengumuman pendaftaran calon Gubernur atau Wakil gubernur
·         pendaftaran calon Gubernur atau Wakil gubernur
·         penelitian persyaratan Administratif bakal calon Gubernur atau Wakil gubernur
b.      Tahap pelaksanaan yang meliputi:
·         Penyampaian Visi dan Misi
·         Pemungutan dan penghitungan suara
·         Penetapan hasil ;dan
·         Penyelesaian pelanggaran hukum
2.      Efek Demokrasi tidak langsung terhadap hak dan daulat rakyat untuk di wakilkan melalui perwakilan
DPRD menganggap dirinya dapat mewakili kepentingan “daulat rakyat” sampai saat ini tidak ada jaminan, mereka akan bekerja benar-benar karena amanat daulat rakyat. Justru kembali ke Pilkada tak langsung, dua organ kekuasaan ini (Kepala Daerah dan DPRD) akan semakin terbuka peluang melakukan transaksi politik.

Pemilukada tak langsung dapat membuat kepala Daerah tidak perlu lagi bekerja keras menjalankan kepentingan “daulat rakyat”. Cukup menjalin konspirasi bersama anggota dewan, semua kebijakan kerjanya akan berjalan lancar. Dalam situasi yang seperti ini, posisi rakyat dengan pemimpin, jelas semakin menjauh, karena bukan lagi dalam kawalan rakyat untuk menagih semua janji-janji politiknya. Janji-janji politiknyapun boleh jadi rakyat tidak tahu menahu, semuanya tinggal diserahkan kepada wakil rakyat yang bernama DPRD.
B.     Saran
1.      Tata cara dan mekanisme pemilihan gubernur melalui pilkada tidak langsung ini melalui DPRD harus sesuai dengan aturan aturan yang telah di sah kan,  baik pasangan calon gubernur dan wakil gubernur harus lolos seleksi administrasi dan tidak ada money politic di dalamnya,serta menyampaikan visi dan misi kemudian menerapkannya ke dalam lingkup masyarakat.
2.      Efek Demokrasi tidak langsung terhadap hak dan daulat rakyat untuk di wakilkan melalui perwakilan. Bagi para anggota DPRD yang diberi wewenang mewakili rakyat agar memilih calon gubernur dan wakil gubernur yang jujur dan dapat dipercaya dengan baik,karna dengan itulah Negara kita akan tetap maju di masa yang akan datang .






DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Anshary, A Hafidz Az,dkk. 2010. Buku Panduan KPPS Pemilihan Kepala   Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Jakarta: Australian Elekctrolar.
Budiman, Hendra. 2015. Pilkada Tidak Langsung dan Demokrasi Palsu. Yogyakarta: Pustaka Yustisia
Handoyo, Hestu Cipto. 2003.  Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Andi Offset.
Nurtjahjo, Hendra. 2005. Filsafat Demokrasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Sunarno, Siswanto. 2006. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945  Pasal 1 Ayat 2
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
Tulisan/Berita dari Media Masa Online
Yanto, Sigit Sumarhaen. 2014. “Pilkada Langsung Dan Tidak Langsung”, www.forumtjk.blogspot.com/2011/05/.html
Putra, Nusa. 2014 “Pilkada TidakLangsung: Matinya Demokrasi”, www.paknusa.blogspot.com/2014/09/pilkada-tidak-langsung-matinya-demokrasi.html.
Kusumaputra , Robert Adhi. 2014. “Tiga Dampak Negatif Pilkada Langsung”, http://nasional.kompas.com/read/2011/08/24/14261156/Tiga.Dampak.Negatif.Pilkada.Langsung.html.
Idris, Muhammad. 2014. “Keuntungan Pilkada Langsung dan Tidak Langsung”, http://politik.kompasiana.com/2014/09/15/ 688045.html.
Karya Ilmiah
Nuraeni, Susi. 2013, “Peran Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Dalam Pemilihan Umum Di Kabupaten Sumedang”.Universitas Pendidikan Indonesia.
Al-Fairi, Leli Salman. 2011,” Pemilihan Umum Kepala Daerah Secara Langsung, Sebuah Pilihan Model Pemerintahan Derah Demokratis”. ISSN.
Kamus
Ball Encyclopedia. “Demos Kratos”. Yunani