BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Asas tunggal, Tunggal jelas berarti
satu. Asas tunggal berarti tidak boleh ada asas lain. Jika Pancasila menjadi
asas tunggal, itu berarti tak boleh ada asas lain kecuali Pancasila yang
dijadikan tumpuan berpikir atau berpendapat di negeri ini. Kalaupun ada yang
lain, tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Artinya, Pancasila berada di
atas segalanya. Yang lain ada di bawahnya, termasuk Islam. Pada awal
kekuasaannya, Soeharto berusaha meyakinkan bahwa rezim baru ini adalah pewaris
sah dari presiden pertama. Dari khasanah ideologis Soekarno, pemerintah baru
ini mengambil Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara dan karena itu
merupakan resep yang paling tepat untuk melegitimasi kekuasaannya. Kekuasaan
awal Orde Baru sanggup memberikan doktrin baru kepada masyarakat bahwa setiap
bentuk kudeta atas pemerintahan yang sah dengan mencoba mengganti ideologi
Pancasila adalah salah dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tampaknya
‘propaganda’ itu berhasil, sehingga tampak jelas ketika rentang Oktober 1965
sampai awal 1966, terjadi peristiwa kekerasan massal yang luar biasa dasyatnya,
yaitu ‘pembantaian’ orang-orang yang dicurigai berafiliasi terhadap komunis.
Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia tidak asing dengar istilah masa Orde
Lama, Orde Baru dan orde reformasi. Orde Lama identik dengan kepemimpinan
Soekarno, Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde
Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno.
Sedangkan, masa reformasi yaitu masa sekarang ini masa globalisasi dengan
segala unsur kebudayaan yang bebas keluar masuk suatu negara. Orde Baru hadir
dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh
Soekarno pada masa Orde Lama. Masa Orde Baru merupakan masa dimana adanya
pergantian kekuasaan Soekarno digantikan dengan Soeharto yang menjalankan suatu
visi yaitu melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen. Dalam masa Orde
Baru inilah diterapkan beberapa kebijakan pemerintah untu melaksanakan
Pancasila yang murni dan konsekuen tersebut. Beberapa istilah muncul dalam
berbagai kebijakan yang dilaksanakan, seperti Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4), Ekaprasetia Pancakarsa, dan Asas Tunggal Pancasila. Kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan oleh Orde Baru menjadi identik dengan Pancasila, sesuai dengan
semangat dari awal masuknya Orde Baru. Dimana awal kekuasaan Orde Baru telah
berhasil meyakinkan masyarakat tentang konsistensinya dalam mempertahankan
Pancasila sebagai ideologi negara. Bahkan sanggup pula menggunakan Pancasila
sebagai alat untuk memberikan legitimasi atas kekuasaan, untuk semakin kokoh,
tanpa terusik oleh kekuatan-kekuatan lain yang merongrongnya. Salah satu upaya
yang dimaksud ialah dengan munculnya istilah Tunggal Pancasila yang sudah
disebutkan di atas. Asas ini mengartikan bahwa tidak ada dasar lain selain
Pancasila dalam parpol maupun organisasi masyarakat (orma).
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kedudukan pancasila pada masa orde, hingga pada asas tunggal pancasila?
2.
Bagaimana
pelaksanaan asas tunggal pancasila berkaitan dengan pengaruh kekuasaan system orde
baru?
C.
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, makalah ini
bertujuan menjelaskan tentang:
1. kedudukan pancasila pada masa orde baru
2. Pelaksanaan asas tunggal pancasila
berkaitan dengan pengaruh kekuasaan rezim orde baru
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif agar
mendapatkan gambaran yang utuh, menyeluruh, dan mendalam. Mengenai pengumpulan
sumber, penulis menggunakan sumber sekunder dengan melakukan studi literatur
dari buku-buku, jurnal, artikel, skripsi, tesis, dan diskusi dengan beberapa
aktivis gerakan ini. Buku-buku, skripsi, dan tesis, penulis dapatkan dari
Perpustakaan Daerah Banten dan sebagian buku merupakan koleksi pribadi.
Sedangkan jurnal dan artikel, penulis dapatkan dari media internet lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Pancasila Masa
Orde Baru
Pancasila merupakan
kristalisasi dari nilai-nilai luhur yang telah hidup jauh sebelum bangsa
Indonesia merdeka. Dirumuskan oleh para pendiri bangsa dengan semangat
mempersiapkan dasar dari sebuah negara merdeka, Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkanlah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, maka Pancasil dimana terdapat dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar secara resmi menjadi Dasar negara Republik
Indonesia. Dengan Pancasila dijadikan Dasar Negara, maka mengandung konsekuensi
logis bahwa Pancasila dengan sifat dan hakikat nilainya harus menjadi dasar
dari tata penyelenggaraan Negara Indonesia. Dari awal kemerdekaan, kedudukan
Pancasila terus mengalami dinamika. Pada tahun
1949 dengan ditetapkanya UUD RIS, tahun 1950 dengan UUD Sementara, tahun
1959 dengan kembali pada UUD 1945 dengan konsepsi Demokrasi hingga padan tahun
1966 dengan semangat pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen oleh
rezim yang menyebut dirinya “Orde Baru”. Dinamika dari awal kemerdekaan hingga
pada tahun 1966an dianggap Pancasila tidak dilaksanakan secara murni dan
konsekuen, terutama di tahun 1959 dengan Demokrasi Terpimpinnya. Terlebih pada
periode 1959 – 1965 terdapat upaya menggabungkan Pancasila dengan Ideologi yang
secara jelas berlawanan dengannya hingga berujung pada pembrontakan G30S/PKI. Berpijak
dari pandangan ketidakmurnian dan ketidak konsekuenan pelaksanaan Pancasila
sebelum tahun 1966, rezim Orde Baru pimpinan Jendral Soeharto yang menggantikan
rezim Orde Lama pimpinan Ir. Soekarno berjalan dengan semangat pelaksanaan
Pancasila yang murni dan konsekuen. Dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang
banyak dikeluarkan oleh rezim Orde Baru berkaitan dengan pelaksanaan Pancasila.
Pancasila sebagai dasar
negara, sebaga ideologi, sebagai pandangan hidup, sebagai pedoman di masyarakat
benar-benar diupayakan sekuat tenaga oleh rezim Orde Baru. Ekaprasetia Panca
Karsa (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4) dan Asas Tunggal
Pancasila merupakan contoh dari kebijakan Orde Baru berkaitan dengan
pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Kebijakan Ekaprasetia Panca
Karsa terdapat dalam Tap MPR No.II/MPR/1978, dimana dijelaskan pada pasal satu
“Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila ini tidak merupakan tafsir Pancasila sebagai Dasar Negara, dan
juga tidak dimaksud menafsirkan Pancasila Dasar Negara sebagaimana tercantum
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Batang Tubuh dan Penjelasannya”.
Kemudian pada pasal dua “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini
merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara bagi setiap warganegara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta
setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di Pusat maupun di
Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”. Hal ini menjelaskan bahwa rezim
Orde Baru berusaha memberikan pedoman bagi masyarakat untuk melaksanakan
Pancasila. Akan tetapi, perlu dicermati keadaanya berbeda pada selanjutnya. Sebagai
sebuah dasar negara dengan konsekuensi logisnya, rezim Orde Baru mempertegas
kedudukan Pancasila, berkaitan dengan
pertai politik dan organisasi masyarakat. Pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang No 8/1985 dan Undang-Undang No 3/1985, dimana menyatakan bahwa
Partai Politik dan Golongan Karya serta Organisasi Masyarakat harus berasaskan
Pancasila sebagai satu-satunya asas. Asas yang dimaksud disini adalah asas
dalam kehidupan bermasyarakat, berbagsa dan bernegara. Dengan
kenyataan-kenyataan di atas membuktikan bahwa rezim Orde Baru menempatkan
Pancasila sebagai dasar, asas, dan ideologi yang wajib dilaksanakan secara
murni dan konsekuen oleh bangsa Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi logis
bangsa Indonesia setelah menetapkan Pancasila melalui penetapan UUD 1945 pada
tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara. Semangat pelakasanaan Pancasila
secara murni dan konsekuen yang dikibarkan oleh rezim Orde Baru ternyata dalam
perjalanannya memunculkan sebuah istilah “hegemoni”. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia hegemoni berarti pengaruh kepemimpinan, dominasi, atau kekuasaan dan
sejenisnya. Kaitannya dengan Pancasila, dalam perjalanan rezim Orde Baru,
pemimpin memberikan pengaruh atau dominasi dengan alat ideologi Pancasila guna
mempertahankan kekuasaanya.
Asas Tunggal Pancasila dan “Hegemoni” Orde
Baru
Tentunya munculnya istilah
atau kebijakan Asas Tunggal Pancasila disebabkan situasi politik yang
berkembang pada masa Orde Baru. Pada awal masa Orde Baru, yakni orde yang
dipimpin oleh Soeharto, meyakinkan bahwa Orde Baru yang dipimpinnya adalah
pewaris sah dan konstitusional dari presiden pertama. Dari khasanah ideologis
Sukarno, pemerintah baru ini mengambil Pancasila sebagai satu-satunya dasar
negara dan karena itu merupakan resep yang paling tepat untuk melegitimasi
kekuasaannya. Penamaan Orde Baru dimaklumkan sebagai keinginan untuk memberikan
pemahaman kepada masyarakat atas munculnya keadaan baru yang lebih baik
daripada keadaan lama. Reorientasi ekonomi, politik dan hubungan internasional
ditambah stabilitas nasional adalah langkah awal yang ditegakkan oleh Orde
Baru.
Kekuasaan awal Orde Baru
sanggup memberikan doktrin baru kepada masyarakat bahwa setiap bentuk kudeta
atas pemerintahan yang sah dengan mencoba mengganti ideologi Pancasila adalah
salah dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tampaknya ‘propaganda’ itu
berhasil, sehingga tampak jelas ketika rentang Oktober 1965 sampai awal 1966,
terjadi peristiwa kekerasan massal yang luar biasa dasyatnya, yaitu ‘pembantaian’
orang-orang yang dicurigai berafiliasi terhadap komunis. Instabilitas nasional
di bawah Demokrasi Terpimpin serta percobaan kudeta tersebut meyakinkan banyak
pihak, bukan saja pihak militer, akan pentingnya men’depolitisasi’ masyarakat.
Koalisi Orde Baru, yang terdiri dari militer (sebagai kekuatan dominan),
kelompok pemuda-pelajar, Muslim, intelektual, demokrat, dsb, berhasil memberi
dukungan yang diperlukan untuk menggulingkan Sukarno dalam bulan Maret 1966.
Mulai saat itulah, Orde Baru menancapkan pengaruhnya dengan menfokuskan pada
Pancasila dan meletakkannya sebagai pilar ideologi rezim. Pancasila kemudian
menjadi suatu pembenaran ideologis untuk kelompok yang berkuasa, tidak lagi
hanya merupakan suatu platform bersama di mana semua ideologi bisa
dipertemukan. Pancasila menjadi semakin diresmikan sebagai ideologi negara, di
luar realitas Pancasila tidak sah digunakan sebagai ideologi negara. Tampaknya
keinginan awal itu berhasil menguatkan kekuasaan Orde Baru dan memberikan
jaminan stabilitas nasional yang mantap daripada Orde Lama.
Bagi Orde Baru, berbagai
bentuk perdebatan mengenai ideologi negara, utamanya antara kelompok Islam
versus nasionalis, ternyata tidak semakin membuat stabilitas nasional berjalan
dengan baik, tetapi justru struktur politik labil yang lebih mengedepan.
Belajar dari tragedi sejarah Orde Lama yang ‘agak’ serba permisif dalam
memberikan ‘ruang’ bagi tumbuhnya ideologi lain, justru berkakbat fatal bagi
berlangsungnya stabilitas kekuasaan tersebut. Itulah sebabnya, Suharto beserta
tokoh penting Orde Baru seperti Adam Malik, menggambarkan betapa pentingnya
Pancasila bagi Orde Baru. Pancasila kemudian menjadi kekuatan paling efektif
untuk meminimalisasi kemungkinan munculnya kekuatan di luar negara. Tampaknya
di awal kekuasaannya, Orde Baru berhasil menyelesaikan masalah legitimasi
ideologisnya. Akhirnya tahun 1966 dan 1967, dasar-dasar negara suatu pemerintah
yang dilegitimasi oleh ideologi Pancasila mulai diletakkan. Menjelang
pertengahan 1966, MPRS telah berhasil
membersihkan dirinya dari semua pendukung Sukarno. Sehingga, lembaga ini
semakin memperoleh legalisasi untuk mengesahkan pengambilalihan kekuasaan oleh
Letjend Soeharto, tanggal 5 Juli 1966 serta berhasil menjelaskan
‘penyelewengan-penyelewengan’ dalam pelaksanaan Pancasila dan Konstitusi yang
telah terjadi selama Orde Lama di bawah Sukarno. Ditetapkannya Ketetapan MPRS
No. XX/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa Orde Baru yang dipimpin oleh Letjen
Soeharto didasarkan pada UUD dan Pancasila dan akan melaksanakan tujuan-tujuan
Revolusi. Ketetapan ini dengan tegas mengakui keabsahan, legalitas,dan semangat
revolusioner UUD dan Pancasila. Dan yang lebih penting lagi adalah MPRS
mengatakan bahwa sumber tertinggi hukum nasional adalah ‘semangat’ Pancasila
yang diakui MPRS merupakan cerminan dari karakter nasional serta Pembukaan UUD
yang di dalamnya asas-asas Pancasila ditegaskan, itu lebih tinggi daripada
Batang Tubuh UUD 1945. Pada kekuasaan Orde Baru inilah Pancasila benar-benar
menjadi kekuatan ideologis paling efektif dalam usahanya menancapkan ‘kuku’
kekuasaannya. Orde Baru menjadi kekuatan yang membela secara jelas Pancasila
sebagai ideologi, sehingga setiap ancaman besar terhadap bangsa (kekuasaan),
merupakan ancaman erhadap Pancasila, dan buktinya semua bentuk pemberontakan
dapat dihancurkan. Adam Malik menunjuk pada Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
sebagai bukti bahwa Pancasila memang merupakan suatu sumber hukum legal dan
‘moral’, otoritas, dan legitimasi yang tertinggi di Indonesia. Pancasila dengan
demikian tidak bisa dilaksanakan bila terdapat unsur-unsur dalam bangsa yang
tidak sesuai dengan ‘kepribadian nasional, misalnya ‘ideologi asing’ yang
menganjurkan diadakannya partai-partai politik oposisi, seperti di Barat. Realitas
ini menjadi suatu bukti betapa dalam perkembangan politik nasional era Orde
Baru sangat sulit diperoleh kekuatan di luar negara yang berani kritis atas
negara. Disamping hanya akan diberangus sampai ke akar-akarnya, gerakan oposisi
justru hanya akan menambah kekacauan dalam masyarakat. Dalam keadaan tertentu,
realitas munculnya oposisi tidak sesuai dengan Pancasila. Itulah bukti betapa
Orde Baru seolah tidak bisa dilepaskan dari Pancasila, karena bagaimanapun
Pancasila adalah titik tolak dari rezim ini. Demikianlah awal dimana kekuasaan
Orde Baru telah berhasil meyakinkan masyarakat tentang konsistensinya dalam
mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara. Bahkan sanggup pula
menggunakan Pancasila sebagai alat untuk memberikan legitimasi atas kekuasaan,
untuk semakin kokoh, tanpa terusik oleh kekuatan-kekuatan lain yang
merongrongnya. Orde Baru menjadi identik dengan Pancasila, sehingga setiap
usaha mengkritisinya ‘dicurigai’ sebagai usaha untuk mengubah ideologi negara,
dan itu harus ditumpas habis, tidak saja oleh aparatur negara represif meminjam
istilah Althuser seperti presiden, menteri, ABRI dan lembaga kehakiman, tetapi
juga oleh aparatur negara ideologis, seperti lembaga keagamaan, pendidikan,
media massa, dan sebagainya. Penggabungan partai-partai yang ‘dipaksakan’ pada
tahun 1973 merupakan contoh jelas dari ketergantungan pemerintah kepada
ideologi nasional untuk menciptakan demokrasi Pancasila dan melegitimasi
tindakan-tindakannya, tetapi baru pada tahun 1978 pemerintah Orde Baru
melakukan ofensif ideologi yang dimaksudkan untuk menetapkan lebih lanjut
parameter-parameter dan kendali-kendali atas wacana politik di Indonesia.
Puncaknya pada tanggal 22 Maret 1978, MPR mengesahkan sebuah ketetapan tentang
‘Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) yaitu TAP MPR
No.II/MPR/1978. Ketetapan ini menjadi sangat penting karena dikaitkan dengan
pedoman MPR untuk rencana pembangunan lima tahun. Dengan P4 ini dimulailah
program indoktrinasi Pancasila secara nasional melalui program-program
pendidikan ideologi yang dilaksanakan secara ketat.
Selama
pembahasan-pembahasan di MPR tahun 1978 mengenai rancangan ketetatapan P4,
farksi NU (Nahdatu Ulama) dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan) melakukan
protes dengan walk out dari Majelis. Menurut Sidney Jones, pada saat itu NU
adalah organisasi massa (Islam) terakhir di negara Indonesia yang masih
memiliki aspirasi-aspirasi politik dan karena ini ‘dicurigai’ oleh rezim karena
pada tahun 1971 menolak untuk mematuhi pedoman-pedoman Orde Baru tentang
perilaku politik dan kemudian tahun 1981, NU menolak mendukung Soeharto untuk
masa jabatan ketiga atau memberinya gelar ‘Bapak Pembangunan’ Dengan perkataan
lain, NU masih bertindak seakan-akan sebuah partai yang independen. Perilaku
seperti ini membuat NU menjadi sasaran tuduhan ‘anti-Pancasila’ oleh rezim, sebagaimana
dalam sebuah pidato Presiden Soeharto tahun 1980 ketika dia menyerang walk
out-nya NU dengan tuduhan seperti itu.
B. Pelaksanaan Asas Tunggal
Pancasila
Situasi kondisi yang digambarkan di atas,
menjadikan Presiden Orde Baru mulai secara tegas dan keras terhadap setiap
‘kekuatan’ yang tidak mau menerima Pancasila sebagai ideologi. Dan mencanangkan
tentang asas tunggal Pancasila yang artinya tidak ada dasar lain selain
Pancasila dalam parpol maupun organisasi masyarakat (orma). Hal ini tercantum pada UU No. 3 tahun 1985 tentang
ditetapkannya Pancasila sebagai asas Partai Politik. Tidak lama setelah
dikeluarkannya UU No. 3 tahun 1985, Orde Baru kembali mengeluarkan kebijakan
mengenai Pancasila sebagai asas tunggal untuk organisasi-organisasi
kemasyarakatan melalui UU No. 8 tahun 1985. Organisasi masyarakat diberi waktu
dua tahun untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Tanggal 27 Maret dan 16 April 1980, Presiden
Suharto mengeluarkan peringatan tersebut melalui pidatonya pada Rapim ABRI di
Pekanbaru. Dia mengatakan bahwa sebelum Orde Baru, Pancasila telah diancam oleh
ideologi-ideologi lain, seperti Marxisme, Leninisme, komunisme, sosialisme, nasionalisme
dan agama. Setiap organisasi di negara ini harus menerima Pancasila sebagai
ideologi, sehingga merupakan keharusan bahwa angkatan bersenjata mendukung
kelompok-kelompok yang membela dan mengikuti Pancasila. Soeharto, bahkan
mengisyaratkan agar ABRI harus mendukung
Golongan Karya (Golkar), sebagai konsekuensi dukungan atas pemerintahan
yang membela Pancasila. ABRI dengan demikian harus berdiri di atas politik.
Menurut David Jenkis, Soeharto dan kroninya di ABRI merasa bahwa jika militer
‘netral’ dalam pemilu, maka partai Islam (PPP) akan mengalahkan Golkar. Dari
pidato-pidato Soeharto, Islam jelas digambarkan sebagai ancaman terhadap
Pancasila, karena itu netralitas ABRI sama saja dengan membahayakan Pancasila.
Dalam pidato tahunannya di depan DPR, 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto
menegaskan lagi bahwa “seluruh kekuatan sosial dan politik harus menyatakan
bahwa dasar ideologi mereka satu-satunya adalah Pancasila.” Pernyataan ini
makin menegaskan adanya proses hegemoni ideologi, sesuatu yang belum pernah ada
dalam sejarah Indonesia sebelumnya, dimana negara mampu menggunakan hegemoni
ideologi seefektif yang dilakukan Orde Baru. Dengan demikian, perjalanan
panjang Orde Baru pada dasarnya didasarkan pada keinginan untuk ‘menguatkan’
dan ‘menancapkan’ ideologi Pancasila sebagai satu-satunya ideologi sah negara.
Dengan ‘berlindung’ dibalik ideologi Pancasila, Orde Baru yang didukung
kino-kinonya (ABRI, Golkar dan Birokrasi) menjadi kekuatan ‘luar’ biasa di
negara Indonesia, tanpa dapat disentuh oleh kekuatan manapun. Sebab, setiap
kekuatan di luar mainstream ‘negara’ saat itu akan dianggap sebagai merongrong
ideologi Pancasila. Setelah ideologi komunisme mampu ditumpas, maka Soeharto
masih menganggap ada kekuatan lain yang ‘berbahaya’, yaitu yang datang dari
kekuatan Islam. Ditetapkannya Pancasila sebagai asas tunggal pada perkembangan
selanjutnya adalah semakin memperjelas arah kepentingan politik negara dengan
menggunakan ideologi Pancasila. Semua organisasi, apapun bentuk dan jenisnya,
harus mencantumkan Pancasila sebagai asas dalam anggaran dasarnya.
Pancasila Pada Masa Orde Baru (1965-1998)
Terlaksananya dengan dasar
“supersemar” dan TAP MPRS no. XXXVII/MPRS/1968 periode ini disebut juga
demokrasi pancasila, karena segala bentuk penyelanggaraan negara berlangsung
berdasarkan nilai-nilai pancasila
Ciri-ciri umum :
1.
Mengutamakan musyawarah mufakat
2.
Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat
3.
Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain
4.
Selalu diliputi oleh semangat kekeluargaan
5.
Adanya rasa tanggung jawab dalam melaksankan hasil keputusan musyawarah
6.
Dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur
7.
Keputusan dapat dipertanggungjawabkan kepada tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan nilai kebenaran dan keadilan
Orde baru muncul dengan
tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Semangat tersebut muncul berdasarkan pengalaman sejarah dari pemerintahan
sebelumnya yang telah menyimpang dari Pancasila serta UUD 1945 demi kepentingan
kekuasaan. Akan tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah tidak jauh berbeda
dengan apa yang terjadi pada masa orde lama, yaitu Pancasila tetap pada
posisinya sebagai alat pembenar rezim otoritarian baru di bawah Soeharto. Seperti
rezim otoriter pada umumnya lainnya, ideologi sangat diperlukan orde baru
sebagai alat untuk membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Sehingga
Pancasila oleh rezim orde baru kemudian ditafsirkan sedemikian rupa sehingga
membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Maka dari itu Pancasila
perlu disosialisasikan sebagai doktrin komprehensif dalam diri masyarakat
Indonesia guna memberikan legitimasi atas segala tindakan pemerintah yang
berkuasa. dalam diri masyarakat Indonesia. Adapun dalam pelaksanaannya upaya
indroktinisasi tersebut dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari
pengkultusan Pancasila sampai dengan Penataran P4. Upaya pengkultusan terhadap
pancasila dilakukan pemerintah orde baru guna memperoleh kontrol sepenuhnya
atas Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah orde baru menempatkan Pancasila dan UUD
1945 sebagai sesuatu yang keramat sehingga tidak boleh diganggu gugat.
Penafsiran dan implementasi Pancasila
sebagai ideologi terbuka, serta UUD 1945 sebagai landasan konstitusi berada di
tangan negara. Pengkultusan Pancasila juga tercermin dari penetapan Hari
Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober sebagai peringatan atas kegagalan
G 30 S/PKI dalam upayanya menggantikan Pancasila dengan ideologi komunis. Retorika
mengenai persatuan kesatuan menyebabkan pemikiran bangsa Indonesia yang sangat
plural kemudian diseragamkan. Uniformitas menjadi hasil konkrit dari kebijakan
politik pembangunan yang unilateral. Gagasan mengenai pluralisme tidak
mendapatkan tempat untuk didiskusikan secara intensif. Sebagai pucaknya, pada
tahun 1985 seluruh organisasi sosial politik digiring oleh hukum untuk menerima
Pancasila sebagai satu-satunya dasar filosofis, sebagai asas tunggal dan setiap
warga negara yang mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial yang
menolak Pancasila sebagai asas tunggal akan dicap sebagai penghianat atau
penghasut. Dengan demikian, jelaslah bahwa Orde Baru tidak hanya memonopoli
kekuasaan, tetapi juga memonopoli kebenaran. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat
dengan negara dalam prakteknya diperlakukan sebagai pelaku tindak kriminal atau
subversif.
Sosialisasi Pancasila melalui Penataran P4
Pada era Orde Baru, selain
dengan melakukan pengkultusan terhadap Pancasila, pemerintah secara formal juga
mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui TAP MPR NO II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di sekolah dan di masyarakat.
Siswa, mahasiswa, organisasi sosial, dan lembaga-lembaga negara diwajibkan
untuk melaksanakan penataran P4. Tujuan dari penataran P4 antara lain adalah
membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan
pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk
dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah
pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Selain sosialisasi nilai
Pancasila dan menerapkan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, dalam
kegiatan penataran juga disampaikan pemahaman terhadap Undang- Undang Dasar
1945 dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pelaksanaan penataran P4 sendiri
menjadi tanggung jawab dari Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (BP7). Akan tetapi cara melakukan pendidikan semacam
itu, terutama bagi generasi muda, berakibat fatal. Pancasila yang berisi
nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam penataran P4, ternyata justru
mematikan hati nurani generasi muda
terhadap makna dari nilai luhur Pancasila tersebut. Hal itu terutama disebabkan
oleh karena pendidikan yang doktriner tidak disertai dengan keteladanan yang
benar. Setiap hari para pemimpin berpidato dengan selalu mengucapkan kata-kata
Pancasila dan UUD1945, tetapi dalam kenyataannya masyarakat tahu bahwa kelakuan
mereka jauh dari apa yang mereka katakan. Perilaku itu justru semakin membuat
persepsi yang buruk bagi para pemimpin serta meredupnya Pancasila sebagai
landasan hidup bernegara, karena masyarakat menilai bahwa aturan dan norma
hanya untuk orang lain (rakyat) tetapi bukan atau tidak berlaku bagi para
pemimpin. Atau dengan kata lain Pancasila hanya digunakan sebagai slogan yang
menunjukkan kesetiaan semu terhadap pemerintah yang sedang berkuasa
BAB III
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan
a
Kedudukan Pancasila Pada
Masa Orde Baru Hingga Asas Tunggal Pancasila
Kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh Orde Baru menjadi identik dengan Pancasila, sesuai dengan
semangat dari awal masuknya Orde Baru. Dimana awal kekuasaan Orde Baru telah
berhasil meyakinkan masyarakat tentang konsistensinya dalam mempertahankan Pancasila
sebagai ideologi negara. Bahkan sanggup pula menggunakan Pancasila sebagai alat
untuk memberikan legitimasi atas kekuasaan, untuk semakin kokoh, tanpa terusik
oleh kekuatan-kekuatan lain yang merongrongnya. Salah satu upaya yang dimaksud
ialah dengan munculnya istilah Tunggal Pancasila yang sudah disebutkan di atas.
Asas ini mengartikan bahwa tidak ada dasar lain selain Pancasila dalam parpol
maupun organisasi masyarakat (norma).Pada kekuasaan Orde Baru inilah Pancasila
benar-benar menjadi kekuatan ideologis paling efektif dalam usahanya
menancapkan ‘kuku’ kekuasaannya. Orde Baru menjadi kekuatan yang membela secara
jelas Pancasila sebagai ideologi, sehingga setiap ancaman besar terhadap bangsa
(kekuasaan), merupakan ancaman terhadap Pancasila, dan buktinya semua bentuk
pemberontakan dapat dihancurkan.
b Pelaksanaan Asas
Tunggal Pancasila
Plaksanaan Pancasila sebagai
asas tunggal itu agar tidak ada dasar dan ideology lain selain pancasila dalam
partai politik maupun dalam organisasi masyarakat. Hal itu ditunjukan dengan
adanya UU No. 3 Tahun 1985 tentang di tetapkannya pancasila sebagai asas partai
politik dan UU No. 8 Tahun 1985 tentang pencasila sebagai asas tunggal bagi
organisasi masyarakat. Dikeluarkannya UU diatas dan diberlakukannya pancasila
sebagai asas tunggal dikarenakan adanya ancaman terhadap pancasila oleh
ideologi lain seperti Marxisme, Sosialisme, Leninisme, Komunismen,
Nasionalismen, dan Agama. Sehingga setiap organisasi di Negara ini harus
menerma pancasila sebagai ideologi
Dengan berlindung dibalik
ideologi pancasila, orde baru yang
didukung kino-kinonya yaitu ABRI, GOLKAR, dan BIROKRASI menjadi kekuatan yang
luar biasa di negara Indonesia, tanpa disentuh kekuatan manapun. Orde baru
muncu dengan tekad untuk melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Maka dari itu pancasila perlu disosialisasikan sebagai doktrin
komprensif dalam diri masyarakat Indonesia guna memeberikan legitimasi atas
segala tindakan pemerintah yang berkuasa dalam diri masyarakat Indonesia.
Adapun dalam upaya indoktrinisasi tersebut dilakukan melalui berbagai cara
mulai dari pengkultusan pancasila sampai dengan penataraan P4.
DAFTAR PUSTAKA
A. M. W. Pranarka. 1985. Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. Jakarta: Centre For Strategic
and Internasional Study.
Bahtiar Effendy. 1998. Islam dan Negara: Transformasi
Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Faisal Ismail. 1999. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam
dan Pancasila. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Inu Kencana Syafie. 2008. Sistem Politik Indonesia. Bandung:
Refika Aditama
Mashad,
Dhurorudin. (2008). Akar Konflik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Prof. Dr. Hamid Darmadi, M. Pd. 2013. Urgensi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Perguruan
Tinggi. Bandung: ALFABETA, cv
Rahmat, M.
Imdadun. (2008). Ideologi Politik PKS (edisi
ke-3). Yogyakarta: LKiS.
JURNAL
Van
Bruinessen, Martin. Sectarian Movements in Indonesian Islam:
Social and Cultural Background. Ulumul Qur’an vo.III no.
1, (1992): 16-27.